Saya sebenarnya tidak pernah berniat untuk mengenalkan angka, apalagi huruf, kepada K sejak dini. Tapi buku-buku yang dibaca K merangsangnya untuk belajar.

Pertama kalinya K mendapat buku ketika berumur satu tahun. Buku yang kami belikan untuknya tentu buku-buku yang lebih banyak gambar dan warna daripada huruf.

Sejalan dengan pertumbuhan kemampuan otaknya, akhirnya kami membelikan K sebuah buku yang berisi bentuk-bentuk angka.

Angka satu sampai dengan sepuluh.

Memang sejak pertama kali memiliki buku, K sering bertanya nama gambar yang ada di buku, “Ini apa?”

Maka begitu pula saat K melihat bentuk-bentuk angka di buku barunya, dia menyampaikan pertanyaan yang sama.

Dari situlah K mulai mengenal angka. Sampai akhirnya K mampu mengingat bentuk angka satu sampai sepuluh.

Awalnya masih sering tertukar antara angka dua dan lima, atau enam dan sembilan. Wajar sih, mungkin karena bentuknya yang mirip.

Tapi anehnya, K juga beberapa kali tertukar antara angka empat dan delapan. Padahal bentuknya berbeda jauh. Hehe.

Tapi biarlah.

Maka sejak itu, kemana pun K pergi, setiap kali melihat angka, ia akan menyebut angka tersebut tanpa ditanya.

“Bapak, itu angka tiga!”

“Ibu, ada angka dua di sana!”

***

Tanpa harus memaksanya untuk belajar terlalu berat, kami juga mulai mengenalkannya makna angka-angka itu.

Secara sederhana kami bilang bahwa angka itu adalah simbol yang menunjukkan suatu jumlah. Misalnya angka tujuh menunjukkan benda yang berjumlah tujuh buah.

Maka, pelajaran mengenal angka pun berlanjut menjadi pelajaran berhitung. Sehingga K mulai mengerti cara menentukan mana yang lebih banyak dan mana yang lebih sedikit.

Misalnya, saat kami menunjukkan gambar dua buah keranjang yang berisi biskuit yang berbeda jumlahnya, K jadi mengerti mana keranjang yang berisi biskuit lebih banyak setelah menghitung jumlah biskuit yang terdapat di setiap keranjang.

***

Saya sendiri bukan tipe bapak yang ambisius mengajari K berhitung. Kalau K tidak berminat, saya takkan memaksanya belajar.

Semua pelajaran yang kami berikan kepada K lebih sering diawali oleh pertanyaannya sendiri. Kalau dia tak berminat, dia akan berhenti sendiri dan kami juga tak akan memaksanya untuk melanjutkan.

Sekarang di saat K berumur 33 bulan (dua tahun lebih sembilan bulan), K sudah mengenal angka satu sampai dua puluh. Sesekali salah tertukar, biar sajalah.

Meskipun sudah mengenal bentuknya, tapi K belum mampu untuk menuliskannya. Itu nanti sajalah, tak perlu buru-buru.

Nah, semenjak saya dan Rebecca harus melaksanakan tugas kantor di rumah (work from home) karena pandemi Covid-19, K juga jadi mengenal laptop dan ingin punya laptopnya sendiri juga.

Beruntung kami punya laptop bekas yang sudah lama tak terpakai, sehingga bisa dipakai oleh K. Tentu dengan pengawasan kami, orang tuanya.

Lalu apa jadinya kalau K bermain laptop? Tentu tombol-tombol angka yang paling mudah dia kenali serta beberapa tombol huruf yang ia pencet secara acak.

Maka K pun mulai ‘naik kelas’, bermain angka menggunakan laptop. Doakan laptopnya tidak rusak ya.

Apa jadinya kalau K melihat tombol angka di laptop?
Digiprove sealCopyright secured by Digiprove © 2020 Kayika Pushandaka