Suatu hari, saya, istri dan Kayika (panggil saja: K) sedang menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di area tempat tinggal kami. Tiba-tiba K menghentikan langkahnya.

Ternyata perhatiannya tertarik oleh baby walker yang baru saja kami lewati. Dia segera mendekat dan setelah diizinkan pemiliknya, memencet setiap fitur bergambar atau bersuara yang terdapat di baby walker tersebut.

Ini bukan kejadian kali pertama. Sebelumnya K juga pernah melakukan hal yang sama saat melihat baby stroller yang melintas di depannya. Dia mengejar kereta bayi itu dengan pandangan takjub dan berusaha menyentuhnya.

Pernah juga K terpukau melihat smartphone anak lain yang menampilkan game dengan visualisasi berwarna menarik. Juga terhadap sepeda anak-anak lain dengan warna yang ceria.

Dia memang gitu anaknya, suka norak.

***

Jujur, saya kadang merasa bersalah saat K bersikap norak seperti itu. Selain merasa bersalah kepada si pemilik barang-barang itu, juga (terutama) kepada K.

Sebab K belum pernah memiliki barang-barang semacam itu.

Dia tak pernah tahu rasanya berseluncur di atas baby walker, sebab dia belajar berjalan tanpa bantuan apa-apa. Kami orang tuanya hanya memancingnya dengan mainan seadanya agar dia tertarik dan memacu dirinya untuk melangkahkan kakinya demi menggapai mainan itu.

Dia juga tak pernah merasakan nyamannya berkeliling atau tidur di atas baby stroller, karena dalam suatu perjalanan dia selalu berjalan kaki atau tidur dalam pelukan saya atau ibunya saat dia mengantuk.

Saya belum bisa memberi banyak barang atau mainan yang telah dimiliki bayi atau balita lain kepada K. Apalagi ponsel pintar dengan segala aplikasi permainan yang menarik.

Mainan yang dimiliki K sampai umurnya sekarang cuma beberapa boneka, beberapa bola, potongan teka-teki kayu, mainan piano dan mainan plastisin beserta cetakannya. Pernah juga kami membelikan beberapa buku yang sebagian sudah tak utuh lagi, sobek karena K sangat antusias membuka lembar demi lembar halamannya.

Nanti, saat usianya tepat kami akan membelikannya sepeda.

Tapi dibalik itu semua, saya mendapat hal yang menyenangkan. Misalnya, K menjadi anak yang suka sekali berjalan kaki. Kalaupun dia lelah, atau sedang ingin bermalas-malasan, dia memilih untuk digendong oleh bapak atau ibunya.

Bayangkanlah, orang tua mana yang tak bahagia melihat anaknya memilih didekap oleh orang tuanya sendiri saat dia lelah atau manja? Kami sangat bahagia, meskipun itu membuat tangan atau punggung kami menjadi pegal.

***

Sebenarnya saya, dan juga istri saya, ingin sekali membelikan K banyak mainan, terutama yang sedang digandrungi anak-anak zaman now, tapi kami memilih untuk lebih berhati-hati sebelum membelikannya.

Selain karena faktor harga, kami juga punya pertimbangan lain, yaitu jangan sampai mainan itu justru menjadi penghalang aktivitas fisiknya. Biarlah kami yang harus repot menjaga dan mengejarnya berlarian ke sana kemari.

Lagipula kami masih tak rela kalau K justru lebih banyak menghabiskan waktunya bersama mainannya daripada bersama kami. Meskipun kadang melelahkan, tapi tak apalah, biar kami saja yang menjadi mainan utama baginya.

Selama Tuhan mengizinkan, kami akan terus berusaha menjadi mainan yang paling interaktif baginya.

***

Jadi mohon dimaklumi, kalau misalnya suatu hari anda, pembaca cerita ini, bertemu K dan dia bersikap norak seperti cerita di atas. Sekarang anda sudah mengerti apa penyebabnya.

Digiprove sealCopyright secured by Digiprove © 2020 Kayika Pushandaka