Mengajari Anak Untuk Marah
Beberapa kali, K bertemu dengan anak yang bersikap kurang baik kepadanya. Tapi K tidak melawan.
Tadi malam saya mencoba berbicara agak serius kepada Kayika, alias K, anak yang baru berumur empat tahun ini. Saya lakukan beberapa saat sebelum kami bersiap-siap untuk tidur. Tentang bagaimana sebaiknya dia bila bertemu dengan teman yang tak baik.
Latar belakang ide untuk membicarakan ini adalah karena belakangan ini K banyak bertemu orang dan dia menyukai itu. Selama dua hari pada akhir pekan lalu, K bertemu dengan sepupu-sepupunya, om dan tantenya. Hampir sepanjang pertemuan, dia bermain bersama sepupunya. Dia nampak senang sekali punya teman bermain yang sebaya.
Besoknya, kami dikunjungi keluarga lain, yang secara hirarki, mereka adalah om, kakek dan nenek, serta nenek buyut K. Selama pertemuan, K sangat ceria dan aktif berbicara kepada mereka semua.
Selanjutnya, saya dan Becca berencana mengajak K bertemu lebih rutin dengan kerabat keluarga. Misalnya, rencana menonton film anak-anak bersama di bioskop dalam waktu dekat.
Hal lain yang melatarbelakangi adalah pengalaman K beberapa kali bermain di playground. Tentu ada beberapa anak juga yang bermain di sana, sehingga interaksi antara K dan mereka kerap terjadi. Tapi, pengalaman yang diterima oleh K tidak selalu baik. Mulai dari yang sepele, tidak menghiraukan sapaan bersahabat dari K.
Selain itu, ada yang bersikap kurang baik terhadap K. Misalnya menunjukkan gestur atau ekspresi tidak bersahabat. Ada juga yang mendorong K cukup keras. Ada pula anak yang dengan sengaja berusaha melempar bola ke arah wajah K, bahkan ada yang berusaha menendang K karena merasa terganggu dengan keberadaan K. Padahal itu kan tempat bermain bersama.
Respon K diperlakukan seperti itu biasanya tak acuh, seperti tidak terjadi apa-apa. Mungkin dia merasa hal tak baik itu tidak disengaja. Tapi saya tahu bahwa itu disengaja, merasa harus mengingatkannya, “K, stay away form that kid” atau, “Don’t play with that boy”
Biasanya K akan patuh dengan instruksi saya.
Respon yang ada di pikiran K
Sebagai permulaan obrolan, saya menjelaskan kepadanya tentang pentingnya teman. Setelah saya menjelaskan hal-hal baik dalam pertemanan, saya mulai masuk kepada hal-hal tak baik yang mungkin akan dia temui dalam pergaulan. Contohnya adalah yang seperti dia alami di playground.
Lalu apa respon yang K pikirkan saat ada anak yang berbuat tak baik kepadanya?
“I should be nice” begitu jawabnya. Baiklah, memang benar bahwa K harus selalu baik kepada setiap orang. Kami mengajarinya seperti itu.
Kemudian saya mempertegas lagi situasinya, “What if you’ve been nice, other kid still not nice to you?”
“I say sorry?” jawabnya dengan nada bertanya. Astaga!
Saya tak menyangka seperti itu respon yang tercetus di pikirannya saat ada anak lain ‘menakalinya’. Jujur ada sedikit rasa kecewa di hati saya, K tidak memberi jawaban yang saya inginkan. Terlintas di pikiran saya, K seharusnya marah dan membalas perbuatan anak itu.
Harus marah?
Maka kemudian saya berusaha mencekoki pikirannya dengan pikiran saya. Saya bilang, “If other kids do bad things to you, you should say ‘stop!’, or ‘don’t do it!’, or ‘I don’t like it!’. If they keep doing that, you should be mad…”
Belum tuntas saya berbicara, ekspresi mukanya berubah. K seperti tidak setuju dengan ide ‘harus marah’, tapi mungkin dia tak tahu harus beralasan apa untuk menolak ide itu. Sehingga akhirnya kegalauan dalam pikirannya itu tumpah dalam tangis.
Saya merasakan tangisnya adalah tangis kesedihan. Seperti ingin berkata bahwa seharusnya tidak perlu marah. Tidak perlu seperti itu. Dan memang begitulah K.
K hampir tidak pernah marah kepada kami, meskipun kami mungkin beberapa kali mengecewakannya. Misalnya saat kami menolak untuk memenuhi keinginannya. Hal wajar bila anak melampiaskan kekecewaannya dengan marah, atau menangis.
Seingat saya, K belum pernah mengambek, apalagi tantrum, karena tidak dipenuhi keinginannya. Tentu saja saat kami menolak kemauannya, kami harus menjelaskan apa alasannya. Biasanya dia akan mengerti dan bilang, “Okay, maybe for later”
Atau mungkin K sebenarnya kecewa dan marah, tapi memilih untuk tidak melampiaskannya begitu saja. Sebab pernah suatu kali dia diganggu anak lain di kolam renang, K sudah berusaha memberi tahu anak itu untuk berhenti melakukannya, tapi tidak digubris, akhirnya K lelah dan menangis di pelukan ibunya. Tidak marah apalagi membalas kepada anak itu.
Maka saya mengerti kenapa K ‘memberontak’ saat saya ‘mengajarinya’ untuk marah kepada anak yang mengganggunya. Bahkan saya berniat untuk menasihatinya agar membalas perbuatan tak baik itu bila ‘si anak nakal’ terus melakukan hal buruk kepada K. Berhubung K keburu menangis, saya menghentikan pembahasan itu.
Mencegah anak menjadi korban bullying
Bullying, atau perisakan, bisa dialami anak-anak di manapun, yang dilakukan oleh anak-anak lainnya atau bahkan orang lain yang berumur lebih tua. Saya berpandangan bahwa perisakan dapat terjadi karena korban hanya diam, dan tidak melawan. Ditambah dengan tidak adanya perlindungan dari orang dewasa di sekitarnya terhadap korban.
Maka itu saya merasa perlu membekali K dengan sikap yang perlu dia lakukan saat menghadapi tindakan risak.
Tapi saat K menangis, saya kemudian berpikir. Saya tak mau K menjadi korban bullying, sekaligus tak mau K menjadi pelakunya. Dengan memintanya marah bahkan membalas perbuatan itu, maka bibit-bibit perisak mungkin malah akan tumbuh dalam diri anak saya.
Mungkin di umurnya sekarang, saya belum perlu terlalu banyak memberinya teori. Saya pikir akan lebih baik untuk membentuk karakter tegas dalam dirinya dengan mengajaknya bertemu lebih banyak orang dengan berbagai latar belakang. Tentu dia akan juga belajar, mana yang baik dan mana yang tidak. Dari situlah mungkin akan ada waktunya, di usia yang tepat, saya bisa membekalinya dengan sikap-sikap yang perlu dia biasakan untuk menghadapi calon-calon perisak di luar sana.
Sebelum tidur, saya teringat kembali rencana untuk mendaftarkan K di kelas taekwondo yang ada di lingkungan apartemen. Bukan untuk apa-apa, hanya ingin mengenalkannya dengan aktivitas dan pergaulan yang baik dan sportif, dan sekaligus membekalinya dasar ilmu bela diri.
Kalaupun ilmu bela diri itu nantinya dia gunakan untuk menendang balik anak yang berkali-kali mengganggunya, ya tak apalah. Selama itu menjadi opsi terakhir yang harus dia lakukan, saya akan membelanya.

Halo Mas lama engga main ke sini
Memang melatih mengungkapkan perasaan sejak dini itu penting
termasuk perasaan tak menyenangkan
marah, kecewa, sedih
Selama ini orang tua memang cenderung meminta anak menyembunyikan itu semua dan akhirnya pas dewasa segala perasaan itu muncul dan malah tidak baik
Yang penting anak tahu bagaimana ia harus bersikap
Setuju banget nih, anak harus belajar marah jika diperlakukan secara nggak baik.
Agar menghindari jadi korban bullying.
Jujur, masalah bully ini masih jadi hal yang bikin deg-degan buat saya, rasanya nggak rela kalau tahu anak saya dibully atau juga membully