Di balik enaknya tak perlu bangun terlalu pagi di setiap hari kerja, WFH sebenarnya bukan cara kerja yang ideal buat kami dengan seorang anak berumur tiga tahun yang aktif bergerak dan berpikir.

Bekerja dari rumah, working from home (WFH), sudah kami jalani sejak pertengahan bulan Maret tahun lalu. Saya sudah pernah menulis suka duka bekerja dari rumah (bisa dibaca di sini).

Bedanya adalah setahun yang lalu, dalam sepekan, saya dan Becca masih bisa meluangkan waktu sepenuhnya untuk K pada akhir pekan, hari Sabtu dan Minggu. Tanpa harus diganggu oleh urusan kantor.

Lagu berjudul “Sabtu Minggu” yang dinyanyikan Sandy Canester mungkin tepat untuk menggambarkan hubungan kami dan K selama WFH. Ada yang tahu lagu itu?

Tapi beberapa hari belakangan, kesibukan kantor kami bertambah karena dikejar deadline untuk menuntaskan beberapa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang fenomenal itu. Maka begitu juga kami sebagai pegawai jelata.

Malam hari, setelah jam kerja, kami beberapa kali harus mengikuti rapat secara online. Itu belum sepenuhnya cukup karena jatah K di akhir pekan juga harus terganggu oleh rapat-rapat lainnya.

K yang butuh perhatian.

Seperti yang terjadi kemarin, Minggu (17/1), saya harus mengikuti rapat mulai pukul dua siang. Sementara K sedang sangat penasaran bagaimana cara bermain lompat tali, skipping, karena tak sengaja menemukan alatnya yang baru dibeli oleh ibunya.

Waktu sudah semakin dekat untuk mulai rapat, saya pun berkata kepada K, “Nak, kamu tidur siang dulu ya, nanti sore bangun tidur kita main lompat tali”

Ternyata, K yang seminggu belakangan lebih sering menghabiskan waktunya tanpa kami yang sibuk rapat ini dan itu, sangat menunggu-nunggu janji saya untuk bermain tali bersama. Biasanya, saat tidur siang, ia sulit sekali dibangunkan, meskipun sudah tidur sampai dua jam.

Tapi siang kemarin, K hanya tidur sejam. Dia terbangun pukul tiga sore, dengan pertanyaan pertama kepada ibunya, “Bapak mana?”

“Bapak lagi rapat” jawab Rebecca.

I want to play jumping rope” begitu katanya kemudian.

Skipping bersama K.

Itu pun tidak bisa langsung terpenuhi, karena saya belum selesai rapat. Saya sebenarnya sedih dan ingin segera menyudahi rapat, tapi tentu tidak semudah itu. Saya membujuknya agar sabar menunggu. Sementara Becca juga sedang mengikuti rapat lainnya di waktu yang bersamaan.

Akhirnya, pukul setengah lima rapat saya selesai. Saya segera memenuhi janji saya. Kami bermain lompat tali bersama. K sangat senang, meskipun saya ngos-ngosan.

Jadi, karena K belum pernah bermain skipping, dia belum bisa melompat tepat pada waktunya secara konsisten, sehingga tali selalu tersangkut di kakinya. Solusinya, agar dia tahu serunya bermain lompat tali, saya menggendongnya di dada. K memeluk erat dengan tanganya melingkar di leher saya, juga kakinya yang melingkar sampai ke punggung saya.

Sementara kedua tangan saya memegang pegangan tali.

Maka kami melompat-lompat bersama, meskipun tidak banyak repetisi karena pelukan K hanya bertahan beberapa kali lompatan saja dan mulai kendur sehingga saya memilih melepaskan tali dan mendekapnya agar tidak jatuh.

Selama kami melompat bersama, K tertawa girang sambil berteriak-teriak, “Like a kangaroo, like a kangaroo!

Maafin bapak, nak.

Maafkan bapak dan ibumu ya, nak. Begitu yang sering saya bisikkan dalam hati, atau beberapa kali saya sampaikan kepada K. Dia biasanya hanya menjawab, that’s okay, tapi ekspresi mukanya datar. Saya tahu K sedih dan kecewa, di saat kami sering berada di rumah, tapi pikiran dan tubuh kami tidak ada untuknya setiap saat.

Bahkan di akhir pekan sekali pun.

Keterbatasan kami membuatmu tak bisa memiliki kami sesuka hatimu. Kami juga punya tanggung jawab lain, yang memang tidak sepenting tanggung jawab kami kepadamu, tapi tidak bisa kami abaikan bagitu saja.

K adalah prioritas utama kami, dan akan selamanya begitu.

Maka, dari sekian panjangnya lirik lagu Sabtu Minggu tadi, yang mungkin bisa kami penuhi bagi K hanya di sepenggal lirik, “Cintaku padamu lebih dari hari apapun”.

Digiprove sealCopyright secured by Digiprove © 2021 Kayika Pushandaka